Kamis, 23 Juni 2011

Obat Palsu Beredar di Pasaran


     Saat ini semakin banyak anggota masyarakat yang tanpa sadar mengkonsumsi obat palsu untuk mengobati penyakit yang mereka derita. Akibatnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan, karena obat palsu tidak hanya dapat memperburuk kondisi kesehatan yang mengkonsumsinya, namun bahkan dapat mengakibatkan kematian.

     Peredaran obat palsu merupakan masalah serius yang saat ini dihadapi oleh setiap negara di dunia, termasuk Indonesia. Edukasi kepada masyarakat luas untuk meningkatkan kesadaran terhadap bahaya obat palsu sangat diperlukan agar mata rantai peredaran obat palsu dapat diputus.

     Berdasarkan jenis obat dan jumlahnya, obat palsu dapat dikelompokkan menjadi enam kategori. Mulai dari kategori produk tanpa bahan aktif, produk dengan jumlah bahan aktif yang tidak tepat, produk dengan bahan aktif tidak benar.

     Selain itu, produk dengan jumlah bahan aktif yang benar tetapi dengan kemasan palsu, meniru produk asli, dan produk dengan bahan tidak layak dan kontaminan.

     Obat palsu, terlarang, dan kedaluwarsa, yang masuk dan beredar di dalam negeri diperkirakan mencapai 15-20 persen dari total pasar obat nasional yang mencapai lebih dari Rp 38 triliun.

     "Saya perkirakan sekitar 15-20 persen obat palsu, terlarang, dan kadaluwarsa, masuk ke Indonesia dari negara tetangga," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi, pada diskusi mengenai masa depan industri farmasi di Jakarta. Menurut dia, banyak obat yang akan kedaluwarsa sekitar 2-3 bulan dari Malaysia dan Singapura masuk dengan cara selundupan ke Indonesia. "Obat-obat tersebut memang murah, namun itu merupakan racun," katanya.

     Akibatnya, pasien atau pengguna obat palsu ini akan mengalami gejala yang bisa berupa keluhan penyakit tidak sembuh dan terjadi resistensi kuman karena penggunaan antibiotika dengan dosis yang tidak tepat. Selain itu, bisa juga terjadi efek samping yang membahayakan kalau obat palsu dicampur atau tercemar bahan toksik karena lokasi yang digunakan untuk meramu dan mengemas obat palsu tidak bisa dijamin kebersihannya. Dampak yang terburuk adalah kematian karena penyakit tidak mendapat pengobatan yang tepat.
    
      Menurut dia, maraknya obat-obatan palsu dan kadaluarsa di Indonesia juga tidak lepas dari penegakan hukum yang lemah.

     Selama ini, kata dia, inspeksi mendadak (sidak) terhadap peredaraan obat-obatan, hanya dilakukan setahun sekali, terutama menjelang Lebaran, bersamaan dengan sidak makanan dan minuman.

      "Aparat penegak hukum dan BPOM harus meningkatkan operasi (sidak) ke toko-toko obat. Konsumen banyak yang tidak tahu obat kadaluarsa," katanya. Selain itu, Sofyan juga berharap pemerintah dan perusahaan obat juga memberikan pembinaan ke apotek-apotek agar tidak menjual obat yang kedaluwarsa.
  
       Ia menilai kalangan pelaku industri dan bisnis obat sebenarnya mengetahui sentra-sentra peredaran obat palsu, sehingga bisa melakukan sidak dan penegakan hukum untuk melindungi konsumen di dalam negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar