Jakarta Terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan bahwa penyebab jatuhnya
pesawat Sukhoi Super Jet 100 (SSJ 100) adalah karena kesalahan manusia (human
error). Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tentu akan terus
bekerja keras mengungkap apa penyebab kecelakaan ini, dan belum tentu
disebabkan oleh kealpaan pilot atau petugas pengatur lalu lintas udara (ATC /
air traffic controller) seperti banyak dibicarakan di media massa.
Lebih seringnya, kecelakaan
bukanlah kesalahan manusia (Man) semata, tetapi multifaktorial. Bisa juga
karena kerusakan pesawat (Machine) dan kekurangtersediaan logistik pemeliharaan
pesawat (Material) serta anggaran yang terbatas (Money), dan lemahnya sistem
kerja (Method) serta manajemen (Management). Umumnya penyebab kecelakaan
pesawat tidak berdiri sendiri.
Namun demikian, jika misalnya
human error yang dominan dari penemuan penyelidikan, maka penyebabnya bisa
karena pilot dan awak kabin lainnya, atau pihak di darat (ATC, dan lain-lain).
Jika pilot yang dianggap dominan
sebagai penyebabnya, bisa karena faktor kekurangsehatannya (Medical factors)
atau karena ketidaksigapannya dalam membuat keputusan (Psychological factors).
Kedua hal ini tentu saja tidak
selalu bisa dibuktikan dalam penyelidikan, jika bukti-bukti dari penumpang yang
hidup (survivor) atau yang melakukan komunikasi di darat (ATC) serta bukti
'sakti' kotak hitam (black box) yang berisi perekam data penerbangan (flight
data recorder; FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder; CVR)
dalam pesawat terbang tidak clear.
Salah satu penyebab medis yang
bisa terjadi adalah disorientasi spasial (spatial disorientation). Sebenarnya
ini bukan karena penerbang sungguh-sungguh tidak sehat, tetapi karena kesalahan
persepsi penerbang dalam menerjemahkan sensasi penglihatan matanya (visual)
akibat 'goyangan' pada organ keseimbangan tubuh di telinga dalam (otolit) dan
sensasi gerak dan jarak (proprioceptive sensation) dan berakhir pada keputusan
yang diambil oleh otak (brain) akibat salah persepsi itu.
Penglihatan mata (visual) bisa menipu
Kesalahan persepsi mata seharusnya
tidak terjadi jika pilot terbang menggunakan teknik terbang instrument flight
(terbang instrumen) dimana seluruh alat navigasi dan avionik pesawat yang
canggih digunakan, dan juga pilot percaya akan ketepatan instrumen-instrumen
tersebut.
Namun adakalanya karena penerbang
tidak menggunakan instrumen yang memadai dalam menerbangkan pesawat, baik
karena sengaja demikian atau karena rusaknya alat-alat itu, maka ia menggunakan
metode terbang yang disebut terbang dengan penglihatan mata telanjang (visual
flight).
Joy flight (terbang demo atau
hiburan/tamasya) dengan pesawat kecil yang minim instrumen biasanya menggunakan
cara ini. Demikian juga training flight dalam pendidikan pilot (militer mau pun
sipil) ada latihan yang sengaja mematikan alat-alat navigasi tertentu untuk
melatih mereka menghadapi keadaan darurat.
Jika penyebabnya karena adanya
kelalaian pilot, spatial disorientation terjadi karena pilot terlalu percaya
diri terbang tanpa instrumen atau pilot dan co-pilot tidak memantau dengan baik
panel-panel intrumen navigasi, bahkan tidak memantau dalam hitungan detik.
Seperti pernah dikutip di beberapa
media beberapa waktu lalu saat terjadi kecelakaan pesawat Xian MA60 di Bandar
Udara Utarom, Kabupaten Kaimana, pakar penerbangan dari International Civil
Aviation Organization (ICAO), Capt. Rendy Sasmita Adji Wibowo menyebutkan, bila
sudut belok pesawat lebih dari 30 derajat, maka hidung pesawat akan menukik. Jika
ini tidak disadari segera oleh pilot atau co-pilot, disorientasi selama 10
detik saja akan sangat berakibat fatal.
Visual flight ini lah yang bisa
menipu mata pilot. Karena mata selalu mempersepsikan pengalaman-pengalaman
sehari-hari penglihatannya terhadap keadaan vertikal dan horisontal, yang di
angkasa akan dimanifestasikan dalam penglihatan horison.
Horison yang dilihat mata pada
saat terbang datar akan di-locked oleh otak sebagai horison standar, yang
ketika manuver terbang ke kiri dan ke kanan (bang/turn) yang artinya membelok,
atau menanjak dan menurun (climb dan descend) dapat tidak dikoreksi tanpa
disadari oleh mata mau pun otak.
Mengapa? Karena organ keseimbangan
kita di telinga dalam yang dinamakan kanalis semi sirkularis yang berisi otolit
akan bergoyang saat bergeser, terutama ke kiri dan ke kanan, yang akhirnya
memberi sensasi standar horison yang berubah dan menciptakan ilusi yang salah.
Otolit menyebabkan perubahan horison
Organ di telinga dalam yang
dinamai kotolit, terdiri dari utrikulus dan sakulus, yang terdapat di kedua
telinga kiri dan kanan. Kedua organ ini selalu dalam posisi tegak lurus satu
sama lain (right angle).
Utrikulus akan mampu mendeteksi
perubahan yang terjadi pada saat ada akselerasi (pertambahan kecepatan) yang
linier atau horisontal, sedangkan sakulus akan medeteksi perubahan gravitasi
dalam bidang vertikal.
Sebenarnya semuanya akan baik-baik
saja dan pendeteksian oleh kedua organ otolit itu secara normal di darat sangat
sempurna. Namun ketika kita terbang, akselerasi linier sembari berbelok akan
membuat gaya gravitasi mempengaruhi baik utrikulus mau pun sakulus sekaligus.
Karenanya bagi pilot yang duduk di
kursinya, bisa tidak menyadari bahwa pesawat telah turun sedikit atau naik
sedikit sementara sensasi penglihatannya masih di horison lurus. Keadaan ini
jika dengan instrumen flight, pilot akan lebih percaya pada panel-panel
navigasi dan avionik yang ada di depan matanya dari pada horison yang telah
'menipunya', dan segera mengkoreksi kesalahan matanya.
Namun pada visual flight, tidak
ada koreksi atas kesalahan akibat goyangan pada utrikulus dan sakulus ini,
sehingga makin lama pesawat akan makin menukik atau menanjak, walaupun horison
yang dilihat dan sensasi yang dirasakan pilot adalah terbang diatas/linier. Kejadian
ini sering terjadi pada saat akan mendarat dengan cuaca buruk apalagi pada
terbang malam.
Kecelakaan pesawat Xian MA60 yang
dioperasikan oleh Merpati Nusantara Airlines pada Sabtu 7 Mei 2011 lalu diduga
karena faktor kesalahan persepsi mata pilot terhadap horison ini. Pada kondisi
lain, dimana kontur darat, misalnya di depan pesawat ada gunung yang tingginya
tidak terlalu jauh dari ketinggian pesawat dan tertutup awan, tentu kesalahan
persepsi ini akan sangat berbahaya, dan pesawat dapat saja menabrak gunung.
Apakah jetlag menyebabkan disorientasi spasial?
Secara langsung, jetlag (kelelahan
fisik dan psikis akibat penerbangan lama yang melewati perubahan banyak zona
waktu) tidak meyebabkan disorientasi spasial. Kenapa? Karena disorientasi
spasial adalah kejadian normal, bukan penyakit atau gangguan kesehatan. Itu
akan muncul jika organ otolit terpengaruh oleh akselerasi dan gravitasiseperti
disebutkan di atas.
Namun demikian jetlag, minum
obat-obatan tertentu, penggunaan obat/narkotika, alkohol dan kurang tidur akan
menurunkan konsentrasi seseorang dan menyebabkan ia tidak sigap terhadap
pentingnya instrumen flight dan tidak cepat-cepat mengkoreksi penglihatannya ke
panel intrumen navigasi yang ada tepat di depannya.
Bagaimana mengurangi risiko terjadinya disorientasi spasial?
Pada visual flight tentu saja
sulit mencegah terjadinya disorientasi spasial. Karenanya para instruktur di
sekolah penerbang selalu mengingatkan kepada calon pilot untuk percaya pada
panel instrumen navigasi di depan mereka, serta selalu melihat dan tidak
mengabaikan untuk menengok secepatnya ke panel-panel itu kapan pun setelah
melihat horison di kaca depan kokpit.
Selain itu saat ini desain kokpit
juga dibuat sedemikian rupa, sehingga secara otomatis pilot selalu akan melihat
ke panel instrumen navigasi di depannya. Ini merupakan bagian dari ergonomi
kokpit pesawat saat desainer pesawat membuat kokpit di pabrik pesawat. Panel
instrumen juga dibuat agar pilot mudah dan cepat membacanya, bahkan di malam
hari atau saat pilot mengalami gangguan gerakan bola mata (nistagmus).
Parameter paling penting dalam menerbangkan pesawat seperti ketinggian
(altitude), kecepatan (airspeed), horison (artificial horizon), dan touchdown
point ditampilkan persis di depan pilot agak ke atas sedikit dalam bentuk head
up display (HUD).
Dengan begitu, pilot cepat melihat tanda-tanda
kesalahan persepsi pada disorientasi spasial dan segera mengkoreksinya. HUD
dianggap sebagai penemuan paling penting dalam mengurangi resiko disorientasi
spasial hingga saat ini.
Namun demikian jika panel instrumen
navigasi rusak akibat masalah Machine, Money, Methods, Management dan
pemeliharaan Material yang kurang, atau pilot (Man) sendiri yang tidak mau
percaya atau lalai dan sengaja tidak memanfaatkan HUD dengan baik, maka
disorientasi spasial akan menjadi sebuah keniscayaan.
Kecelakaan pesawat dan korbannya
kian hari akan kian bertambah, otoritas dan operator penerbangan juga bisa
dipermalukan, sumber daya juga banyak tersedot untuk SAR dan identifikasi serta
penyelidikan penyebab kecelakaan. Disamping itu perasaan masyarakat juga jadi
diharu biru dan digiring pada persepsi kesalahan 'disorientasi spasial' yang
lain : bahwa moda transportasi udara itu adalah sangat tidak aman.
Ini tentu saja suatu kesalahan
persepsi yang fatal, karena telah diakui oleh survei dimana pun bahwa terbang
dengan pesawat terbang adalah cara teraman dalam menggunakan moda transportasi!
*) Dr dr Wawan
Mulyawan, SpBS, FS
Penulis adalah doktor
dalam bidang biomedik penerbangan, penulis buku : 'Kiat Sehat Perjalanan dengan
Pesawat Terbang' (2012), dokter spesialis bedah saraf, flight surgeon, staf
pengajar di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Kedokteran Penerbangan
FKUI dan perwira TNI-AU berpangkat Letnan Kolonel.
Opinion:
First of all I am sorry for the crash scene
Sukhoi Super Jet 100 (SSJ 100) that occurredon Mount Salak on May 9, 2012. This
incident really grab the attention of many people.what is the real cause of the
crash scene Sukhoi Super Jet 100 (SSJ 100)? until nowstill in a big question
mark. many of the allegations of the NTSC while but is stillinvestigating the
cause.
Whether the incident was caused by human
error? if the incident was caused by human error, this means the same as the
man himself who wanted his life to drift. but the who?pilots and other cabin
crew, or the ground (ATC, etc.)?
If the pilot is considered to be dominant as
the cause, could be due to factorskekurangsehatannya (Medical factors) or
because ketidaksigapannya in makingdecisions (Psychological factors). not for
the pilot are the profession that must alwaysmaintain their health to run
pekerjannya. should pilot who wants to do a check flight inadvance so as not to
experience health events that are not desirable. such as disorders of the eye
sight (visual) that can be deceiving. an eye on the pilot health impaired meanskesalahanyang
very fatal. Because the eye always perceives the experiences of everyday vision
of the status of the vertical and horizontal, which will be manifested in space
in sight horizon.
And disorder which causes a change Otolit
horizon. It is an ear organ that can be disrupted when the aircraft in flying
condition but no correction for errors due to wobble in the utricle and
saccule, that more and more aircraft will dive or climb, although thehorizon is
seen and felt the sensation that the pilot is flying above / linear.
Source: Dr dr Wawan Mulyawan SpBS FS - detikNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar